Pages

Sunday, May 30, 2010

Melancung Ke Samarinda, Kalimantan Timur

Pakdenoran dengan Azidin di hadapan replika takhta Kesultanan Kutai
Balai penghapan kesultanan Kutai
replika tahkta kesultanan Kutai
Replika kesiltanan Kutai
Ruang peraduanan kesultanan Kutai




Perkampungan di tepi sunagi di Samarinda

Penenun kain samarinda

Satu lorong di perkampungan penenun kain
Penenun kain samarinda
Salah satu papan tanda di kota Samarinda

Saya pernah melancung ke Samarinda beberapa tahun dahulu tanpa mengetahui ada kaitan dengan Daeng Selili. Beberapa tahun lalu saya baru tahu saya ada kaitan dengan Daeng Selili bahawa saya keturunan ke 10 dengan isterinya dari Perak Raja Tengah. Di Perak Daeng Selili dikenali berbagai gelaran salah satu yang termashor Maharajalela Pancung tak bertanya, Daeng Celah, Haji Besar dan Mufti Perak Pertama.

Di sini yang lampirkan gambar-gambar semasa melancung ke Samarinda.


Thursday, May 27, 2010

Keluarga Bahyah binti Alang Ahmad bin Busu Manjang

Isteri Busu Manjang Ketiga Ngah Sadiah dikuniakan dua orang anak sahaja iati Alang Ahmad dan Chu Aisah. Alang Ahmah berkeluarga dengan Alang Yah digelarkan dengan Ngah Pungut dikurniakan enam orang anak iaitu Abu Kasim, Engguk, Hapipah,Teh 'Aishah, Baghiyah dan Mahiah.

Keluarga Baghiyah binti Alang Ahmad

Baghiyah betermu jodoh dengan Abul Karim yang bersaudara dengan Mat Daud suami Teh 'Aisah.
Pasangan Baghiyah dengan Abdul Karim di kuniakan enam orang anak iaitu Abdul Karim, Kamaruzzaman, Ikram, Harun, Mohamad Hasbi dan Robaaishah.

Abdul Rahman dengan Saerah di kurniakan enam orang anak, mereka tinggal di Sayung Lemabah, anak sulungnya Norizan pesara guru bersuamikan Bashah orang Johor, meraka tinggal di Kampung Laksan, Jalan Datuk Sagor belakang Sekolah Menengah China Chong Wah.
Kedua Ideris beristerika dengan Latifah orang Sayung tinggal di Sayung Lembah, Ketiga Mohamad fauzi keempat Murad, kelima Maizun dan yang bongsu Duan.

Kamaruzzaman lebih dikenali dengan nama keluarga Pak Ngah Zam beristeri dengan sepupunnya Saerah anak kepada Mahiah. Mereka dikuniakan sembilan orang anak iaitu Yahya pesara tentera berpangkat Major beriterikan Hamsiah pesara kerani di pejabat keraan Kuala Kangsar. Mejer Yahya seorang aktivitis masyarakat tinggal di Simpang Tiga Talang, Kuala Kangsar dikuniakan enam orang anak iaitu Syazaima, Syazaili, Syazaifa, Syazaina, Syazaifi dan Syazaira iaitu empat perempuan dan dua lelaki iaitu Syazaili dan Syazaifi.
Anak-anak lain Pak Ngah Zam ialah Hanif, Rosley, Rosila Hanim, Rosmawan, Ahmad Zaini merupakan seorang wartawan Berita Harian dan berjawatan ketua pengarang Bahasa Melayu Berita Harian, yang lain ialah Kamal Arifin, Mohamad Shukri seorang guru di daerah Kuala Kangsar dan yang bongu Ahmad Sharibi.

Ikram beristerikan Noo tinggal di Sayung Lembah berdekatan dengan rumah Pakngah Zam dan Abdullah Sani. Psangan ini dikurniakan lima orang anak iaitu Abu Bakar Sharudin, Mili Iksan, Ismail, Zainal dan Fatimah

Harun beristerikan Kak Ani tinggal di Gombak Kuala Lumpur dikuniakan empat orang anak iaitu Zulkarnain, Hasami, Nor Asma dan Azizah. Harun lebih dikenali oleh keluarga sebagai Tak Harun merupakan seorang pesara pegawai kanan keranan pernah menjadi pembantu khas Tun Musa Hita semasa Tun menjadi menteri pelajaran.

Mohamad Hasbi berkeluarga denga Adayiyah orang sekampung kini tinggal di Taman Gombak Kuala Lumpur. Mat Hasbi merupakan pesara tentera dikurniakan lima orang anak iaitu Azman, Azhar, Nita, Nina dan seorang lagi bekerja di Dubai

Robaayah anak bungu Baghiyah bersuamikan Mohamad Sabtu inggal di Taman Indera Kayangan Kangar, Perlis. Merka berdua pesara guru dikurniakan empat orang anak aiatu Helmi seorang pegawai bank di Kuala Lumpur, Hilwani, Azri dan Aswani




(pembaca berkenaan harap kemas kini fakta dalam komen)

La Madu Kelleng dalam Wikipedia Bahasa Indonesia

Terdapat banyak cerita dan kajian dibuat oleh pengkaji-pengkaji sejarah Bangsa Bugis. Di sini saya paparkan apa yang terdapat dalam Wikipedia dalam Bahasa Indonesia

LA MADU KELLENG DALAM WIKWPEDIA INDONESIA

La Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo


Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe

[sunting] Inilah La Maddukelleng :

LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714


[sunting] La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda

La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.

Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.

La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.


[sunting] Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo

Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo


Monday, May 17, 2010

Versi Kajian Izham Ku Zaifah

Saya telah membuat kajian mengenai keturunan dan asal usul Daeng Selili. Di sini saya paparkan versi salah seorang keturunan Daeng Selili iaitu Izham Ku Zaifah yang tinggal di Kota Lama Kiri




Izham Ku  Zaifah
Izham Ku Zaifah
Daeng Selili adalah anak raja Bugis dari Luwu',belayar ke Mekah menuntut ilmu agama,balik kenusantara dan akhirnya menetap diPerak.Terkenal dengan gelaran Panglima Pancung Tak bertanya yang bawa maksu seorang yang alim melaksanakan hukum syariat Allah.Berkahwin dengan Che' Ulung,mendapat 4 orang anak 1) DaengTok Enggang 2) Serimaharaja Daeng Tok Tongkat 3) Daeng Tok Bakul atau Nor Jelisim 4)Serimaharaja DaengTok Othman (kuburnya dibelakang Masjid Kota Lama Kiri).Saya adalah generasi 8 keturunan Daeng Selili.Sogheh saya macam ni,Daeng Selili+Che Ulung dapat anak nama Daeng Tok Tongkat.Daeng Tok Tongkat+(tak dapat maklumat) dapat anak namanya Daeng Kanda Adam.Kanda Adam+Daeng Alang Maimunah(kahwin Sepupu,Daeng Alang Maimunah adalah anak kepada Daeng Tok Othman).Depa kawin dan dapat 8 anak,salah soghangnya Daeng Itam Said.Daeng Itam Said+Itam Ra'yah Bt Kanda Mu'min dapat 3 anak,salah soghangnya Kanda Alang Rastam kahwin 3 kali.Salah soghang dengan Puteri Teh Khatijah.Salah soghang anak Kanda Alang Rastam ialah Tun Mohd Aleh.Tun Mohd Aleh kawin 2 kali 1)Che' Andak bt Hj Mohd Said dan 2)Ngah Jamilah Bt Kanda Jenal.Ngah Jamilah pernah kahwin dengan DYMM Sultan Perak ke 24,Almarhum Sultan Ali Al-Mukammal Inayat Shah yang mangkat di Sayong tahun 1874.Dengan Ngah Jamilah depa dapat soghang anak iaitu Tun Mohd Edham yang lahir tahun 1880.Tun Mohd Edham kawin dengan Aishah Bt Hj Harun yang datang dari Anak Bukit Kedah,dan dapat 9 anak salah sorang nama Tun Ku Zaifah,kahwin dengan Jawahar Bt Syeikh Hj Abdul Kadir Al-Marbawi Bin Hj Abdul Raof Al-Marbawi dan dapat 6 anak.Salah sorangnya Tun Izham iaitu teman lee........
May 4 at 11:42pm · · Flag
Izham Ku  Zaifah
Izham Ku Zaifah
Syukur Alhamdulilah,saya tau nasab ketughuunan saya sampe Daeng Selili sebab Arwah Tok Saya,Tun Mohd Edham ada buat buku salasilah ketughunan kami,buku ni dibuat tahun 1932,masa tu ayah saya pun tak ada lagi.Untuk makluman semua,oghang Kota Lama Kighi memang satu peghodu,kami punya jughai ketughunan mula daghi Seri Maharaja Daeng Tok Tongkat,anak kedua Daeng Selili.Untuk makluman semua juga,segala ketughunan Wan,Megat,Syed yang ada dalam Kuala dan diselughuh Negeri Perak ni semuanya sangkut paut.Semuanya daghi Daeng Selili.Itu le sebabnya Orang Besor 4,8,16,32 bukan kaum puak lain,pusin-pusin balik kesitu juga.Adik beghadik sedaghah sedagin sepusat sepusin,kate oghang tua.Sekighanya ada sesapa yang nak tengok buku salasilah teman ni,dipersilakan dengan hormatnya.





Sunday, May 9, 2010

Keluarga Teh 'Ashah binti Alang Ahmad bin Busu Manjang


Keluarga Teh Aishah

Cucu Busu Manjang bersama Ngah Saadiah seterusnya ialah Teh 'Aishah binti Alang Ahmad berkulurga dengan Mat Daud, meraka dikurniakan dua oarng anak sahaja iaitu Abdullah Sani dan Zainun Hamzah.

Keluarga Abdullah Sani berieterikan Umi Salmah tinggal di Sayung Lembah dekedatan penambang sampan sugai perak di Kuala Kangsar. Mereka dikurniakan ramai anak seramai sepuluh orang. Semua anak lelaki bermula dengan Amir, anak pertama Amir Shabudin beristeri orang Talang Hilir dan tinggal di Simpang Tiga Talang berdekat kedai gunting Wa yang merupakan iparnya.
Kedua Amir Jalaludi seorang pesara kakitangan bandaraya Kuala Lumpur tinggal di Setapak, Amir Mazlan tinggal di Sayung Lembah Kuala Kangsar'
Pasangan Abdullah Sani dengan Umi Kalsum dikurniakan tia anak perempuan iaitu Sharibatuk Rabitan merupa seorang guru di daerah Kuala Kangsar seorang guru besar SK Kota Lama Kanan, anak perempuan yang lain ialah Noriah mengikut suaminya Isamail ke Pucung, Selangor dan ketiga Mashitah tinggal di Sayung.
Anak lelaki Abdullah Sani seterusnya ialah Amir Redzuan berkerja sendiri tinggal di Chandan Putri, Kuala Kangsar, berikutnya Amir Muhayudin berkerja sendidri sebagai tukang gunting tinggal berdekatan rumah asal, berikutnya Amir Hamzah bekerja sebagai wartawan berkeluarga dengan orang kedah tinggal di Alor Star. Aanak bongsunya ialah Raslan bekerja sebagai pegawi Bernas tinggal di Kuala Lumpur.

Keluarga Zainun Hamzah bertemu jodoh dengan Rapidah orang Pedang Rengas. Mereka dikurniakan sebelas orang anak. Pertama Mohd Yusuf seorang pensyarah kanan di School of Managment USM Pulau Pinang tinggal di 6,A Company, USM. Penang, Kedua Adli seorang kakitangan PembantuPerubatan di Hospital Kuala Kangsar, Mohamad Fatia tinggal di Ampang Selangor,.
Dr. Zaitul Azma penyarah kanan UPM berkelulusan PHD dalam Dept of Malay Language , Liza seorang pegawai bank di Kuala Lumpur, Rozaidin seorang eksuikitif Petronas , Kuala Lumpur, Zeet seorang pesara RISDA tinggal di Kuala Kangsar, Busu pegawai syarikat Scuriti, Mohamd Yatio tinggal di Kelantan membuka syarikat arkitek. Asrul dan Ida berkerja sebagai kakitangan RISDA di Kuala Kangsar,

Wednesday, May 5, 2010

Keluarga Besar Busu Manjang X Ngah Saadiah

Busu Manjang mempunya tiga isteri pertama Itam Jaaliah, kedua Ngah Sabiah dan ketiga Saadiah.

Dengan isteri ketiga dikurniakan dua orang anak iaitu Alang Ahmad dan 'Aishah.

Keluarga Alang Ahmad.

Alang Ahmad bertemu jodoh dengan seorang perempuan berketurunan Bengal Islam bernama Alang Yah, dikurniakan enam orang anak iaitu Abu Kassim, Enggok, Hapipah, Teh 'Aishah, Bagyah dan Mahiyah.

Abu Kassim bertemu jodoh dengan Mariam binti Mat Arif dari Semanmggol, Bagan Serai dikurniakan beberapa orang anak, sebelum dikurniakan anak sendiri meraka mengambil anak angkat diberina Abdul Jalil. Belia dijodohkan dengan orang Sayong bernama Putih dikurnia dua orang anak perempuan iaitu Jamilah (istemewa kerana bisu) dan berkeluarga tinggal di Sayung, kedua Siah berkeluarga dengan Mior Ahmad dikurnia ramai anak seramai sebelas orang diantaranya Mieor Mohd Sabri seorang guru di Bagan Serai, Mior Jamil tinggal di rumah tua di Talang Hilir jalan Datok Sagor, Mior Halim bekerja sebagai ahli Bomba di Kuala Kangsar, dan beberapa orang sebagai anggota polos seperti datoknya Jalil seorang polis. Mereka yang jadi anggota polis ialah Jumat dan Razak.

Anak kedua psangan Abu Kassim dengan Mariam ialah Esah berkeluarga dengan Abas Haji latif keturunan Daeng Selili (boleh ikuti keluarga Hj Abas bin Hj Latif  bin Imam Kolah--Jan . 2 - 2009)

Anak ketiga pasangan Abu Kassim Mariam ialah Mohd Ideris berkeluarga dengan Cik Tam bermustautin di Kemunting di Taiping. Mohd Ideris semasa hayatnya seorang pegawai Penjara di Taiping. Anak sulungnya Mohd Zahid tinggal di Simpang Tiga Talang, Kuala Kangsar dengan membuka kedai roti canai berdekatan dengan setesyen minyak Shell di Simpang Tiga Talang. Anak-anak pasangan Idris Cik Tamiaitu Abdul Rani dan Hariah di Kemunting Taiping dan Jariah tinggal di Simpang Changkat Jering Taiping, Hariah merupakan bekas penelia Kemas Taiping dan Jariah pesara kakitangan Hospital Taiping. Mereks semua telah berkeluarga dan beranak cucu. Anak yang bungsu pasanagn ini Mohamad Hafis seorang anggota polis di Bandar Tun Razak Selangor dan masih bertugas

Anak keempat pasangan Kasim Mariam ialah Rodiah berkeluarga dengan Hat, meraka bertuga di Jabatan kesihatan Kuala Kangsar , Rodiah seorang bidan kerajan di Kota Lama Kiri tahun 60 dan 70an manaka Hat seorang attenden Hospital Kuala Kangsar. Mereka ini dikurniakan dua orang anak sahaja. Baharudin merupakan seorang posman di Pejabat Pos Taing berkeluarga dengan Faridah Ibrahim tinggal di Kemunting Taiping. seorang lagi perempuan Zaini juga seorang bidan kerajaan berugas di Sungai Lesong Kampat bertemu jodoh dengan Shirin bermustautin di Sungai Lesung Kampar, juga merupa arwah dan beranak cucu di sana.

Anak bungsu pasangan Kasim Mariam ialah Hendun berkeluarga dengan Ali Cerut(nama gelaran) bermustautin di Talang Hilir jalan Datok Sagor. Psasngan ini dikurniakan ramai anak yang sulung Ismail nama gelaran Tee tinggal di Datok Keramat Kuala Lumpur berkeluarga dengan Kamariah. Ismail merupakan pesara tentera bermenantu dan bercucu. Adik-adiknya Baariah, Esah tinnggal di Pulau Pinang, Abdula Ghani berniaga ikan keli di pasar Kuala Kangsar, Abdul Aziz (puya) di Manjung, adik Su tinggal di rumah tua di Talang Hilir dan Mat Aris seorang kakitangan JPS di Taiping berkelurga dengan seoraqng guru.

Anak anak Alang Ahmad Alang Yah yang lain ialah Enggok, Hapipah, Teh 'Aishah, Ba'yah dan Mahiyah (akan dikemas kini kemudian)








Saturday, May 1, 2010

Daeng Selili dengan Raja Tengah

Semasa Daeng Selili berada di Perak dan berkhidmat dengan Sultan Perak, mengenang jasanya Sultan Perak mengawinikan DS dengan adiknya Raja Tengah. Mereka dikurniakan empat orang anak iaitu Daeng Abdullah dengan gelaran Tok Anjang, Daeng Osman dengan gelaran Seri Maharaja, Daeng Mohammad Kader @ Daeng Mat Tara dengan gelaran Tok Tongkat dan yang akhirnya Daeng Nurjilisan (perempuan)

Daeng Tok Anjang dikurniakan seorang anak bernama Daeng Sura ialah bapa kepada Imam Kolah merupakan darah keturunan waris teras penulis. Anak Imam Kolah anaknya Haji Latif, cucunya Haji Latif Abas merupakan ayah penulis (Pakdenoran)

Manaka Daeng Osman atau Tok Seri Maharaja Lela merupakan orang kuat Istana sampai beberapa keturanan menjadi Temenggong dan Penghulu Mukim di daerah Kuala Kangsar. Tok Maharaja Lela berkahwin dengan Toh Kemala Dewi dikurniakan lapan orang anak iaitu Long Loya bersuamikan Bendahara Peduka Raja dengan bermulanya keturan Megat dengan pertama Megat Kassim dan Megat Metaha, Anak kedua Maharaja Lela kedua Ngah Manan, ketiga Alang Maimunah, keempat Andak Radiah, kelima lelaki Anjang Sari, keenam Uda Tahir, ketujuh Busu dan yang bungsu kelapan Nuteh bersuamikan Raja Muda Chulan.

Anak Daeng Selili seterusnya Daeng Nur Jalisan bersuamikan Tok Pandak dikurniakan dua orang anak iatu Dol Fatah dan Imam Muhamad.

Seterusnya anak Daeng Selili ialah Daeng Muhamad Tara @ Daeng Muhamad Kader lebih dikenali dengan Tok Tongkat. Daeng Mat Tara dengan pangkat Tok Maharaja Lela beristerikan Bidan Jalibah dikuniakan beberapa orang anak antaranya Abdul Razak, Nursatin, Kanda Adam, Busu Manjang dan Khatib Manjang.Busu Manjang merupakan datuk nenek menulis.